Quantcast
Channel: Catatan Nyempil Kalau Lagi Ada Waktu
Viewing all articles
Browse latest Browse all 297

Saya Pro UN loh!

$
0
0
Ya ya... saya tau banget, tulisan saya ini pasti bakalan menimbulkan pro dan kontra. Apalagi sekarang lagi rame banget yang namanya gerakan "Tolak UN", sampai khusus ada websitenya, lalu didukung oleh orang-orang yang hmmm... kalo boleh saya bilang sih lagi ngetop-ngetopnya saat ini dan dianggap cerdas. Nggak usah disebutin deh ya orangnya, pokoknya salah satu stand up comedian yang lagi hits lah saat ini, dan juga banyak tokoh-tokoh lainnya.

Kemarin, salah satu orang yang sangat mendukung gerakan tolakUN, sebutlah namanya si Bokek, sempat adu argumentasi sedikit di Facebook dengan saya. Sebenarnya saya ingin copas benar-benar tulisan orang tersebut, yang konyolnya, setiap saya tulis satu komen, dia membalas dengan tiga komen berendeng-rendeng ditambah link-link dari website dengan alasan research dan lain-lain, demi mendukung gerakan tolak UN tersebut. Saya sih jawab simpel saja, kalau dia cuma berani kasih saya link dari website yang sama, yang jelas-jelas websitenya itu adalah website yang mendukung tolak UN, ya jelas saja isinya semua soal hal-hal yang mendukung pernyataannya dia. Tulalit.com deh ah. Ujung-ujungnya saya gak ladenin lagi, males dengan orang yang kelewat fanatik dengan gerakan dan tokoh tertentu, tanpa melihat dari sisi seorang praktisi pendidikan yang terjun langsung ke lapangan. Pas saya baca profile FBnya dia, isinya tuh cuma gerakan tolak UN, dan ada disisipkan jualan software yang katanya bisa untuk tes kemampuan anak. Hi hi hi...

Intinya, si Bokek berargumen, kalau dia tolak UN, karena UN membuat standardisasi, padahal anak-anak kita bukan batu bata yang dicetak, dan sekolah bukan pabrik yang perlu ada quality control. Saat saya membicarakan tentang standardisasi, dia bisa melenceng ke soal biaya UN yang besar yang seharusnya bisa dipakai untuk yang lain-lain. Padahal saya sendiri fokus mengenai pentingnya standardisasi tersebut.

Sebagai seorang praktisi pendidikan, yang kebetulan ikut melihat dan memantau pelaksanaan UN di sekolah, dan kegunaan UN itu sendiri, saya mau memberikan beberapa argumen dari sisi saya. Tapi tolong, jangan diliihat dari sisi pelaksanaan UN yang mekanismenya memang suka berantakan ya, ataupun jual beli soal yang terjadi. Di manapun yang namanya tidakan itu kan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan UN, dan sekali lagi itu menurut saya tidak bisa dijadikan argumentasi bahwa UN-nya sendiri jelek. Ibaratnya, kalau kita punya barang bagus banget, tapi pas sampai ke tangan konsumer sudah dipreteli oleh orang yang tidak bertanggung jawab, apakah berarti barang kita awalnya jelek? Saya akan membahas dari satu-persatu sisi yang dipaparkan oleh si Bokek sebagai argumen dia dalam menolak UN.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. UN Dianggap Mencetak Orang Seperti Batu Bata

Saya tidak pernah merasa dengan adanya UN, manusia dicetak menjadi manusia yang kaku dan tidak berkarakter. Dari dulu saya dan kawan-kawan saya mengikuti ujian apapun, kami tidak pernah merasa kalau kami ini dicetak untuk menjadi sama. Kami merasa ujian itu perlu, sebagai tolak ukur kami setelah mengikuti proses belajar mengajar. Kalau ada opini yang bilang gara-gara ada UN, semua guru cuma fokus mengajarkan materi UN kepada anak-anak, saya kira itu berarti pengaturan kurikulum di sekolah yang belum rapi pemetaannya, dan kurangnya kontrol mengenai materi-materi yang harus dicakup. Saat kita SMA-pun, kita bisa memilih jurusan yang kita mau sesuai dengan bakat dan minat kita. Jurusan yang diakui ada IPA, IPS, dan Bahasa, dan anak kita bisa memilih pengetahuan dasar apa yang dia inginkan untuk bekalnya ke depan nanti. Soal UN sudah dibuat sedemikian rupa sesuai dengan jurusan yang diambil. Apakah dengan demikian kami semua dibentuk jadi sama?

2. UN Membuat Sekolah Menjadi Seperti Pabrik Yang Butuh Quality Control

Si Bokek mengemukakan, UN itu tidak boleh menjadi standar kelulusan. Sekolah sendirilah yang harus menentukan standar kelulusan anak-anaknya, karena sekolah yang tau kemampuan anak-anak tersebut. Bayangkan, kalau semua sekolah boleh menentukan standar kelulusannya sendiri. Sekolah A 100% lulus! Tetapi ternyata anak-anaknya tidak mampu melakukan hitungan dasar dan hal-hal yang diperlukan sesuai dengan jenjang umurnya. Bagaimana nasib anak tersebut ke depannya? Tau sendiri kan bagaimana kualitas sekolah-sekolah di Indonesia, termasuk sekolah yang memakai label Internasional di namanya? Kebanyakan hanya berorientasi kepada bisnis, dan mencoba menyenangkan customernya (alias murid dan orang tua murid). Pada tau nggak sih, kebanyakan para expatriate yang mengajar di sekolah-sekolah international itu menganggap UN adalah sampah! Mereka mendoktrin anak-anak kalau mereka tidak perlu UN, yang penting belajar saja lalu ambil ujian international (yang seringkali ternyata tidak diakui). Sekolah jadi seperti tempat les, anak-anak hampir tidak ada yang tidak naik kelas karena kalau sampai tidak naik, mereka dengan mudah pindah ke sekolah lain yang bisa menyebabkan pendapatan sekolah berkurang.

Giliran mereka mau kuliah, mereka tidak punya dokumen apapun yang resmi, yang menandakan kalau mereka itu kompeten. Yang ada cuma rapor sekolah, yang seringkali juga nilainya belum tentu murni karena standar sekolahnya lain-lain (lagi-lagi banyak nilai yang dibagus-bagusin cuma buat pleasing the parents). Saya sendiri melihat, bagaimana anak-anak murid saya banyak yang sebelumnya tidak ikut UN, dan sekarang benar-benar struggling saat mau masuk kuliah dan mencari kampus. Ujung-ujungnya, banyak dari mereka yang akhirnya masuk ke kampus kurang baik di luar negeri, atau cari kampus lokal yang bisa disogok masuknya. Sedih kan? FYI, hasil UN itu lebih diakui loh di kampus di Amerika daripada IGCSE dan AS.

Katanya si Bokek, sekarang setiap kampus di Indonesia juga mulai banyak yang tolak UN, dan punya ujian masuk sendiri. Kalau menurut saya, ini dia yang akhirnya sekarang juga bikin banyak praktek kotor di beberapa kampus besar. Anak-anak yang tidak punya dokumen, tapi pingin kuliah, dengan alasan tolak UN dan ngga perlu UN, jadi gampang bisa masuk ( tentulah dengan "imbalan secukupnya". Ini saya jujur loh). Nah, kalau kampus di luar negeri gimana? Selain TOEFL/ IELTS/ Test standard yang diakui, juga butuh dokumen penunjang dari Indonesia kan? Mana ada test-test-an lagi? Apa kita mau datang ke sana cuma buat test, terus ditolak dan balik lagi ke Indonesia gitu?

3. Anak-anak Yang Tidak Lulus UN Akhirnya Drop Out dan Masa Depannya Suram

Oke, sekarang, kalau pelaksanaan UN tidak curang, tidak jual beli soal, alias pelaksanaan UN sesuai dengan maksud dan tujuan awal, seandainya anak tersebut sampai tidak lulus UN, yang notabene adalah pendidikan dasar jenjang SMA sesuai dengan bidang studi yang sudah dia pilih, itu salah siapa? Salah UN-nya kah? Anak-anak yang saya lihat mendukung gerakan tolak UN itu rata-rata justru anak-anak (maaf) alay, yang memang MALAS belajar! Mereka menolak UN, karena yaahhh... sekolah aja jarang! Kerjaannya demo, ngerjain guru, main-main, ngebolos. Bahkan, ada yang satu sekolah kompak tolak UN, dengan sengaja tidak datang pada saat ujian, sehingga tingkat kelulusannya nol persen. Kalau sampai mereka gagal, I think they deserve it! Kalau dia masa depannya suram, apakah karena salah UN? Ya salah dia sendiri dong. Kenapa gak belajar dengan tekun? Kenapa tidak berusaha? Mana daya juangnya?

Lain cerita kalau dia gagal UN karena misalnya sehari sebelum UN bapak/ ibunya sakit keras sehingga dia tidak bisa konsentrasi, itupun masih bisa ikut UN susulan dengan keterangan resmi dari sekolah. Amerika sendiri punya SAT, dan tidak membatasi umur dalam mengambil test tersebut. Apakah sistem pendidikan di Amerika jelek? UK punya IGCSE. AS/A Level. Apakah sistem pendidikan di Inggris buruk? Indonesia kasih kesempatan dengan Kejar Paket A, B, dan C. Kurang baik apa sebenarnya sistem ini kalau dijalankan dengan mekanisme yang benar sesuai dengan tujuan awalnya?

4. Menurut Laporan Hasil Pemetaan PISA, setelah 11 tahun UN, Indonesia Masih Termasuk Nomer Buncit, Bukti UN Tidak Efektif

Yang tidak efektifnya itu, sistem pendidikan di Indonesia, atau UN-nya? PISA itu juga hanya mencakup beberapa negara saja, lalu bagian mana di Indonesia yang mereka tes? Kemudian, apakah hasil dari PISA itu menandakan kalau orang Indonesia bodoh? Saya inget banget sampai ada yang nulis artikel dengan tulisan, remaja Indonesia salah satu yang terbodoh di dunia. Aduhhh sakit hati saya dengernya. Yang sempit itu pemikirannya siapa ya? Jadi menurut saya, membandingan secara langsung UN dengan PISA itu, rada-rada gimanaaaa gitu deh ya.

Kalau menurut saya, PISA itu lebih menganalisa dari kemampuan kognitif dan problem solving para remaja Indonesia yang dinilai kurang. Pemerintah tidak tinggal diam kok, mereka juga melakukan perombakan kepada kurikulum yang dinilai memang kurang memberikan pendekatan itu. Kurikulum 2013 yang akan mulai dilaksanakan ini terlihat sudah mengalami perbaikan dari segi partisipasi murid dan kemampuan problem solving.  Saya sendiri terus terang agak deg-degan, terutama untuk kesiapan para guru. Kita doakan saja semoga para guru-guru juga siap untuk mengajar dengan metode yang lebih baik.

5. UN Hanya Buang-Buang Uang, Mendingan Uangnya Dipakai Untuk Hal Lain Seperti Perbaikan Nasib Para Guru

Nah, kalau saya lihat, pas si Bokek mulai melenceng kemari, saya merasa dia sudah mulai melakukan pengalihan issue. Issue awalnya tadi kan mengenai UN yang membuat anak seperti batu bata, jadi kan lagi ngomongin isu standardisasi nih, eh mendadak dia lompat ke masalah habis-habisin uang. Kalau saya sih sistemnya sederhana, UN-nya sendiri tidak salah, karena UN dipakai juga untuk melihat standar di daerah-daerah lain, bagaimana mutu pendidikan di daerah, apakah sudah mengalami perkembangan, fasilitas apa yang masih dibutuhkan oleh daerah-daerah lain di Indonesia, apakah guru-gurunya sudah ditrain secara kompeten. Kalau sampai ada daerah yang benar-benar parah keadaannya, IDEALNYA pemerintah turun langsung untuk melihat ke lapangan, dan menjadikannya jauh lebih baik. Jangan salah loh, banyak juga sekolah-sekolah di daerah yang ternyata mutunya luar biasa baik dengan guru-guru berdedikasi, dan menghasilkan manusia-manusia unggul. Mengenai pengalokasian dana, ya itu dikembalikan lagi ke pemerintah. Tapi apakah UN perlu? Ya menurut saya sih masih.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jadi kesimpulannya apa? Menurut opini saya (opini saya loh ya..pribadi nih..) yang salah bukan UN-nya!! Kenapa kita harus tolak UN? Yang ngaco itu adalah sistem pendidikan yang kurang memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk menjadi anak2 yang critical, analytical, dan mampu melakukan problem solving, sehingga bisa mengerjakan soal secara standar UN yang katanya hampir mendekati standar internasional, bahkan beberapa soalnya juga bersumber dari PISA. Tapi buktinya, beberapa sekolah bisa kok menerapkan itu, dan tidak pernah ada masalah kelulusan. Berarti sekolah-sekolah yang seperti itu harus dijadikan sekolah percontohan, dan pemerintah tidak boleh tinggal diam. Saya terus terang senang dengan adanya kesadaran pemerintah untuk kurikulum yang lebih baik. Saya berharap pelaksanaannya di lapangan juga mengikuti kurikulum yang berlaku. Contoh nih ya, guru SMP dan SMA kalau ngajar jangan kayak robot! Sebel saya kalau lihat guru cuma bisa copy and paste dari buku, lalu ngajar sesuka hati tanpa ngikutin standard harus ngajar sampai mana. Guru jaman sekarang harus lebih bisa memberikan contoh ke dalam real life situation. Dijamin, anak-anak bakalan lebih engaged dalam belajar, dan mereka langsung bisa relate ke dunia nyata. Nah, berarti pemerintah juga harus mengadakan lebih banyak training, seminar, dan sertifikasi untuk para guru. Pakai sistem lelang jabatan kalau perlu (tapi testnya dilihat dari berbagai sisi ya: skill test, aptitude test, personality test, and group test). Biar bisa dilihat apakah guru benar-benar bisa ngajar atau nggak. Lalu tolonglah adanya standar alat-alat yang dibutuhkan, terutama untuk sekolah-sekolah negeri di daerah. Btw, kemarin saya senang loh mendengar banyak sekolah-sekolah negeri sekarang punya fasilitas yang wow banget. Sekolah swasta aja kalah! Ayo Pak/ Bu Mendikbud (siapapun nanti) supaya bisa mulai disamaratakan di seluruh Indonesia.

Duh, tulisan saya kali ini serius banget ya? Gak apa-apa toh ya. Soalnya terus terang saya peduli banget dengan pendidikan bangsa ini dan nasib anak-anak kita. Saya sedih banyak sekali sekolah, yang makin lama makin mengedepankan strategi "pemasaran" macam: mengembangkan karakter anak lah, memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang sesuai individu lah, membuat anak merasa kalau mereka istimewa lah, padahal sebenernya tujuannya cuma untuk menjaring murid, tetapi akhirnya tidak mempunyai standar kelulusan yang mumpuni. Siapa korbannya? Ya anak-anak kita sendiri! Anak-anak jadi tidak punya kemampuan dasar yang sesuai usianya. Kecuali anak anda luar biasa bakatnya dari awal, dan keliatan sebagai child prodigy alias wonder kids, boleh lah anda tidak ikutin anak anda ke ujian apapun (And I think even a wonder kid needs to know how to do multiplication hahahaha).

Sekian dan terima kasih!

Viewing all articles
Browse latest Browse all 297

Trending Articles