Saya mau cerita alias bergosip, soal orang terngeyel dan ter-gak-mau-kalah di dunia yang pernah saya kenal. Orang tersebut adalah kerabat dekat saya sendiri, dan saya rasa nggak masalah juga saya ceritain di sini, sekedar untuk berbagi pengalaman, kalau ternyata ada memang banyak orang unik di dunia. Saya emang demen nyeritain yang unik-unik, dan ngga tau kenapa, setelah dibaca orang, ternyata saya nggak sendirian menemui orang-orang tipe seperti ini. Buktinya dari komen-komen pembaca, ehhh ternyata ada juga tipe-tipe manusia yang sama di belahan dunia yang berbeda (contohnya ya kasus si Omde kemarin hehe).
Si kerabat saya ini, kita singkat si K, adalah orang yang SANGAT BAIK yang saya kenal. Saya akui, orang ini kalau dimintakan bantuan, sangat cepat dan sigap dalam membantu. Tapi sayangnya, dia selalu berharap, kalau segala kebaikannya itu harus dibalas dengan kata-kata pujian, dan orang lain harus melakukan dan sependapat dengan apa yang dia mau. Pelan-pelan, orang-orang mulai menjauhi beliau, tidak ada orang lain yang mempunyai pandangan satu level yang bisa menjadi kawannya. Pada akhirnya, dia hanya bisa berteman dengan orang-orang yang bisa dia "beli", alias ngikut aja. Dan tau sendiri, sudah pasti secara level ekonomi, orang tersebut pasti di bawah dia. Buat orang-orang yang mempunyai harga diri, sudah sangat sulit untuk bisa berkawan dengannya, kecuali siap untuk dikata-katain setiap hari.
Setiap hari update statusnya di FB, isinya itu nggak jauh-jauh dari:
1. Mengata-ngatain orang lain bahkan kenalannya, terkadang dengan kata kasar, sebagai contoh: sialan, haram, arogan, dll
2. Memuji-muji diri sendiri soal kebaikannya dan kemampuannya, misalnya dia habis naikin gaji karyawan, ngasih tau dia melakukan apa saja buat orang lain, ngasih tau kalau dia itu kaya, ngasih tau kalau dia itu pinter, dll
3. Menceritakan kesedihan dan hidupnya yang nelangsa, merasa tidak diperhatikan orang, mencari arti hidup.
Sebagai orang yang sangat dekat dengan si K ini, dari kecil saya sudah kenyang yang namanya dikata-katain dari saya kecil. Sebagai contoh, saya masih umur 6 tahun, kami pergi ke puncak untuk menginap di villa saya, kebetulan yang nyetir itu si K dan nyetirnya nggak enak banget sampai saya mual. Saya nyeletuk,
"K, kok nyetirnya ngerem-ngerem melulu, aku jadi mual nih, kalau papa nyetir aku ngga mual."
Dengan santai dia bisa jawab,
"Soalnya gue bos, bapak lu sopir!"
Coba bayangin, anak umur 6 tahun digituin, bayangkan kalau ke orang dewasa dia akan berucap apa. Tapi karena saya sudah terbiasa, ya sudah, saya anggap angin lalu, bahkan sampai sekarang, kalau saya mau sakit hati, sudah bisa dari kapan-kapan, despite segala bantuan yang pernah diberikan. Faktanya, orang-orang lain, sudah banyak yang kabur dan menjauhi daripada terlibat masalah dengan beliau. Bahkan saya dinasehatkan oleh salah satu kenalan saya, "Sudahlah, mendingan jaga jarak saja." Tetapi buat saya, orang seperti ini sebenernya adalah orang yang butuh perhatian ekstra. Tetapi setiap kali saya mencoba untuk menyadarkan beliau akan perbuatannya yang menyakiti orang lain, yang ada saya yang malah dimaki. Seringkali saya merasa ingin menyerah menghadapi orang seperti ini, tetapi hati kecil ini kok rasanya masih tetap diliputi rasa kasihan.
Suatu hari, orang ini menulis di FB, yang intinya adalah, dia merasa tersentak, karena ada seorang kenalannya yang bilang kalau dia kasar. Dia bertanya, benarkah itu, dan mohon penjelasan dari orang yang mengenal dia. Jadilah saya hubungi dia via jalur pribadi, karena saya pikir, ada kesempatan yang baik dengan orang lainpun berani mengatakan kalau beliau sering kasar. Saya mencoba mencari kata-kata sebaik mungkin, dan saya bilang kepadanya kalau dia tidak boleh marah, karena dia sendiri yang meminta penjelasan. Kemudian dia tanggapi dengan bilang terima kasih, tolong ceritakan apa saja, terbuka saja, jangan stop komentar. Begitu saya ceritakan kenyataannya, yang ada dia bilang itu cuma emosi sesaat dan pasti orang-orang tersebut sebenarnya berterima kasih atas kebaikannya (ujung2nya balik lagi membanggakan diri sendiri).
Dia juga bilang kalau dia itu ngatain orang karena dia jujur gak bisa basa basi, nggak seperti orang lain (lagi-lagi muji diri sendiri). Kemudian saya bilang, kalau gitu kenapa anda marah kalau orang lain berkata jujur kalau anda kasar, sementara anda mengatakan kalau anda berhak berkata kasar karena itu merupakan suatu kejujuran? Eh ujung-ujungnya si K bilang, kalau dia sudah membantu orang tersebut moral dan material, tapi kenapa orang tersebut ngatain dia kasar. (nahloh, kok ujung2nya jadi materi sih?)
Bisa dilihat kan ya polanya di sini, kalau dia membantu orang tetapi somehow tidak ikhlas, dan dia ingin kalau orang sudah dibantu olehnya itu memuji-muji dia, dan menuruti apa yang dia mau. Kemudian saya terakhir bilang, kalau memang sudah membantu orang, ya ikhlas. Buang rasa sakit hati, mudah tersinggung, pamrih, nanti kita akan mendapat pahalanya. Tapi terus dibantah, dengan bilang pahala apaan? Kemudian dia malah ngatain saya mengintimidasi dia. Terus dia bilang, "Aku tidak akan minta apa-apa darimu, dari dulu, sekarang, apalagi yang akan datang. Kamu mau komen apapun, aku tetap akan berdiri tanpamu!"(Nah balik lagi kan jadi materi? Meminta apa2? Ngga nyambung banget. Kalau soal minta komen, padahal dia yang minta kan?).
Akhirnya saya sampai pada titik, di mana saya bilang kalau saya tidak akan komentar lagi. Padahal selama ini, kalau bisa dibilang, saya termasuk orang yang terdekat dengannya. Terakhir saya bilang, "K yang meminta saya komentar, dan berjanji tidak akan marah. Tetapi K tidak bisa menerima, malah berbalik bilang kalau aku mengintimidasi. Kalau K tidak bisa menerima keterbukaan orang lain, jangan berharap orang lain juga mau menerima dikata-katain oleh K dengan alasan 'karena aku terbuka apa adanya'. Gitu saja."
Setelah kejadian itu, dia masih sempat ngatain saya di FB dia. Sejak saat itu, dia mau tulis apa, saya tidak pernah tanggapi. Saya masih sangat sayang dan menghormati dia sampai sekarang, tetapi rasanya cukup dengan cara saya berkunjung dan bertemu dengannya secara langsung, menghargai dia sebagai orang yang saya tuakan. Tidak tau kenapa, sering terlintas di benak saya, saya masih ingin terus membantu dia untuk sadar, cuma rasanya cukup lewat doa.
PS: Jadi inget Pemred Tabloid Obor Rakyat saat dia kepergok. Menurut dia, sebagai jurnalis, dia boleh menulis apa saja, itu OPINI dia. Padahal, ada satu kata yang harus dipegang teguh oleh seorang jurnalis (maupun oleh kita semua) yaitu ETIKA. Almost similar with my story?